Bandar Lampung, Kamis (16/10/25)
Di negeri yang setiap hari riuh oleh suara janji dan wacana, barangkali yang paling mahal hari ini adalah keberanian untuk benar-benar bersuara. Di tengah kursi-kursi parlemen yang kadang lebih sibuk menunggu tepuk tangan daripada mendengar rakyatnya, secercah harapan justru muncul dari sudut-sudut dan ruang-ruang kecil kampus. Di sanalah generasi baru belajar mengenali arti bicara.
Minggu, 12 Oktober 2025. Auditorium Gedung A1 Fakultas Pertanian Universitas Lampung terasa berbeda. Cahaya proyektor menyorot tembok, menampilkan kalimat yang menjadi napas kecil hari itu: “Bersuara untuk Perubahan: Belajar Legislasi, Mewakili dengan Arti.” Kursi-kursi terisi, wajah-wajah muda menatap serius, nampak jelas raut penuh rasa ingin tahu. Tak ada orasi lantang, tak ada sorak-sorai politik, hanya semangat yang perlahan mengisi udara.
Di ruang itu, Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas (DPM-U) Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Lampung (KBM UNILA) mencoba sesuatu yang sederhana tetapi bermakna, membuka kembali forum kritis mahasiswa. “Sekolah legislatif ini merupakan program kerja terbesar DPM Unila,” ujar Jidan Fadil Maulana, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2024, yang hari itu menjadi ketua pelaksana. Lewat kegiatan ini DPM-U KBM Unila ingin menciptakan wadah serta forum-forum mahasiswa untuk memahami dunia kelegislatifan secara nyata, dengan menghadirkan pemateri yang memang kompeten di bidangnya.
Tentu, jalannya tak semulus rencana. Jidan mengakui, persiapan acara ini sempat tersendat. “Mulai dari konfirmasi pemateri yang tidak bisa hadir, sampai sempat juga mengajukan di beberapa gedung. Tapi Alhamdulillah di auditorium ini yang di acc,” tuturnya. Ia bercerita sambil tersenyum lelah.
Di hadapan mereka, para pemateri datang silih berganti. Dari pejabat kementerian, anggota DPD, hingga legislator daerah. Namun hari itu, yang paling penting bukan siapa yang berbicara di depan, melainkan siapa yang duduk mendengarkan, ratusan mahasiswa yang datang dengan semangat baru.
“Kami batasi kuota sampai dua ratus peserta,” kata Jidan. “Acara ini juga terbuka untuk semua mahasiswa mulai dari fakultas apa saja, angkatan berapa saja, bahkan kami juga mengundang mahasiswa luar Universitas Lampung,”lanjutnya “Dan Alhamdulillah, antusias peserta sangat baik.”
Sorot proyektor memantul di mata mereka yang duduk di bangku-bangku auditorium. Sesekali terdengar gumaman kecil, tawa ringan, lalu tepuk tangan. Tak ada yang tampak mewah, tetapi di situlah makna acara ini, ruang sederhana yang menjadi tempat belajar tentang tanggung jawab.
“Pesertanya bukan cuma mahasiswa baru, tapi juga angkatan 2022, 2023 sampai 2024,” lanjut Jidan. “Cuma memang antusias paling tinggi dari angkatan 2025, karena mereka masih penasaran.”
Dari luar, kegiatan ini mungkin tampak seperti pelatihan biasa. Akan tetapi bagi mereka yang hadir, ada percikan kecil yang menyala. Mereka tidak duduk di kursi parlemen, tetapi di auditorium itu, mereka sedang belajar tentang makna mewakili. Bahwa menjadi legislator bukan sekadar berbicara, melainkan mendengar, memahami, dan membawa suara banyak orang ke ruang yang lebih luas.
“Harapan saya, tahun depan sekolah legislatif bisa lebih besar lagi,” ucap Jidan sebelum acara ditutup. “Tempatnya lebih luas, pesertanya lebih banyak, dan pemateri yang lebih hebat lagi. Intinya, semoga setiap tahunnya bisa lebih baik dari tahun ini.”
Ketika layar proyektor akhirnya padam, dan para peserta satu per-satu meninggalkan ruangan, gema dari semangat itu masih tertinggal di udara. Mungkin dari auditorium kecil di Fakultas Pertanian ini, lahir suara-suara baru yang kelak benar-benar berarti. Karena sejatinya perubahan, sesederhana apapun bentuknya, selalu dimulai dari keberanian untuk bersuara.
Teks: Aris Krisna Setiawan
